TUGAS TERSTRUKTUR
EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
“Dampak Penggunanaan Stryrofoam Terhadap
Kesehatan Dan Lingkungan”
Oleh :
Moch. Bachrul alam
A0A013078
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2015
DAMPAK
PENGGUNAAN STRYROFOAM TERHADAP KESEHATAN Dan LINGKUNGAN
Styrofoam merupakan
salah satu pilihan yang paling popular untuk digunakan sebagai pengemas
barang-barang yang rentan rusak maupun makanan sekalipun. Styrofoam memiliki
keunggulan yaitu praktis dan tahan lama. Hal inilah yang menjadi daya tarik
yang cukup kuat bagi para penjual maupun konsumen makanan untuk menggunakannya.
Sampai saat ini belum banyak yang sadar bahaya dibalik penggunaan kemasan styrofoam.
Styrofoam sebagai
kemasan makanan, sebaiknya penggunaannya bukan sekedar sebagai bungkus tetapi
perlu diperhatikan keamanannya, karena fungsi dari kemasan makanan yaitu untuk
kesehatan, pengawetan dan kemudahan. Menurut beberapa penelitian telah diketahui
bahwa styrofoam berbahaya bagi kesehatan. Menurut Mulyanto (2013), bahaya
styrofoam berasal dari butiran-butiran styrene, yang diproses dengan
menggunakan benzana. Benzana inilah yang termasuk zat yang dapat menimbulkan
banyak penyakit (Mulyanto, 2013).
Selain itu, Styrofoam
juga terbukti tidak ramah lingkungan, karena tidak dapat diuraikan sama sekali.
Bahkan pada proses produksinya sendiri menghasilkan limbah yang tidak sedikit
sehingga dikategorikan sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di
dunia oleh EPA (Enviromental Protection Agency).
Penggunaan
Styrofoam
Pengunaan styrofoam
salah satunya adalah sebagai kemasan atau wadah makanan karena bahan ini
memiliki beberapa kelebihan. Bahan tersebut mampu mencegah kebocoran dan tetap
mempertahankan bentuknya saat dipegang, mampu mempertahankan panas dan dingin
tetapi tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang
dikemas, biaya murah, serta ringan.
Di Indonesia,
penggunaan styrofoam sebagai wadah makanan makin menjamur karena barang ini
sangat mudah ditemukan dimana-mana, mulai dari restoran siap saji sampai ke
tukang-tukang makanan di pinggir jalan untuk menggunakan bahan ini sebagai
pembungkus makanan mereka (Mulyatno, 2013).
Selain digunakan
sebagai pembungkus makanan, penggunaannya digunakan untuk bahan pelindung dan
penahan getaran barang yang rentan rusak seperti elektronik atau barang pecah
belah lainnya.
Bahaya
Penggunaan Styrofoam Terhadap Kesehatan
Styrofoam adalah jenis
bahan kimia organik yang tidak bisa terurai oleh alam. Styrofoam terdiri dari
butiran-butiran styrene yang diproses dengan mengunakan benzena. Sedangkan
benzena adalah termasuk zat yang bisa menimbulkan banyak penyakit. Benzena ini
menimbulkan masalah pada kelenjar tyroid, menganggu sistem syaraf sehingga
menyebabkan kelelahan, mempercepat denyut jantung, sulit tidur, badan menjadi
gemetar, dan menjadi mudah gelisah (Anjarimawati, 2010).
Hasil kajian Divisi
Keamanan Pangan Jepang pada Juli 2001 mengungkapkan bahwa residu styrofoam
dalam keamanan Pangan Kemasan Styrofoam sangat berbahaya. Residu itu dapat
menyebabkan endokrin disrupter (EDC) suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia
karsinogen dalam makanan. Hasil berbagai penelitian yang sudah dilakukan sejak
tahun 1930-an, diketahui bahwa stiren, bahan dasar styrofoam, bersifat
mutagenik (mampu mengubah gen) dan potensial karsinogen. Semakin lama waktu
pengemasan dengan Styrofoam dan semakin tinggi suhu, semakin besar pula migrasi
atau perpindahan bahan-bahan yang bersifat toksik tersebut ke dalam makanan
atau minuman. Apalagi bila makanan atau minuman tersebut banyak mengandung
lemak atau minyak. Toksisitas yang ditimbulkan memang tidak langsung tampak
(Sulchan, 2007).
Hasil survei di AS pada
tahun 1986 menunjukkan bahwa 100% jaringan lemak orang Amerika mengandung
styrene yang berasal dari styrofoam. Penelitian dua tahun kemudian menyebutkan
kandungan styrene sudah mencapai ambang batas yang bisa memunculkan gejala
gangguan saraf. Faktor yang mempengaruhi perpindahan zat kimia pada Styrofoam
ke dalam makanan, antara lain:
1. Suhu
yang tinggi
Semakin panas suatu
makanan, semakin cepat pula migrasi bahan kimia styrofoam ke dalam makanan.
2. Kadar
lemak tinggi
Bahan kimia yang
terkandung dalam styrofoam akan berpindah ke makanan dengan lebih cepat jika
kadar lemak (fat) dalam suatu makanan atau minuman makin tinggi.
3. Kadar
alkohol dan asam yang tinggi
Bahan alkohol dan asam
mempercepat laju perpindahan.
4. Lama
kontak
Semakin lama makanan disimpan dalam
wadah Styrofoam semakin besar kemungkinan jumlah zat kimia yangbermigrasi ke
dalam makanan.
Sifatnya akumulatif dan
dalam jangka panjang baru timbul akibatnya. Sementara itu CFC sebagai bahan
peniup pada pembuatan styrofoam merupakan gas yang tidak beracun dan mudah
terbakar serta sangat stabil. Begitu stabilnya gas ini baru bisa terurai
sekitar 65-130 tahun. Gas ini akan melayang di udara mencapai lapisan ozon di
atmosfer dan akan terjadi reaksi serta akan menjebol lapisan pelindung bumi. Apabila
lapisan ozon terkikis akan timbul efek rumah kaca. Bila suhu bumi meningkat,
sinar ultraviolet matahari akan terus menembus bumi yang bisa menimbulkan
kanker (Sulchan, 2007).
Menurut Sulchan (2007)
terdapat beberapa monomer yang dicurigai berbahaya adalah vynil khlorida, akri
lonitril, meta crylonitril venylidine chloride serta shyrene. Bahan-bahan ini
memiliki monomer-monomer yang cukup beracun dan diduga keras sebagai senyawa
karsinogen. Kedua monomer tersebut dapat bereaksi dengan komponen-komponen DNA
seperti vynl khlorida dengan guanine dan sitosin, sedangkan akrilonisil (vynil
cyanida) dengan adenine monomer vinile khlorida mengalami metabolisme dalam
tubuh melalui pembentukan hasil antara senyawa epoksi cloreshyan oksida.
Senyawa epoksida ini sangat reaktif dan bersifat karsinogenik.
Selain itu, pada
senyawa pembuat Styrofoam terdapat butil hidroksi toluene (BHT) atau n-butyl
stearat. Kandungan zat ini menurut penelitian kimia LIPI dapat memicu timbulnya
kanker dan penurunan daya pikir anak. Masalah kesehatan yang dapat muncul
setelah terpapar jangka panjang yaitu menyebabkan gangguan pada sistem syaraf
pusat, dengan gejala seperti sakit kepala, letih, depresi, disfungsi sistem
syaraf pusat (waktu reaksi, memori, akurasi dan kecepatan visiomotor, fungsi
intelektual), hilang pendengaran, dan neurofati periperal.
Bahaya
Styrofoam terhadap Lingkungan
Selain berefek negatif
bagi kesehatan, styrofoam juga tak ramah lingkungan. Karena tidak bisa
diuraikan oleh alam, styrofoam akan menumpuk begitu saja dan mencemari
lingkungan. Styrofoam yang terbawa ke laut, akan dapat merusak ekosistem dan
biota laut. Beberapa perusahaan memang mendaur ulang styrofoam. Namun
sebenarnya, yang dilakukan hanya menghancurkan styrofoam lama, membentuknya
menjadi styrofoam baru dan menggunakannya kembali menjadi wadah makanan dan
minuman.
Data EPA (Enviromental
Protection Agency) di tahun 1986 menyebutkan, limbah berbahaya yang dihasilkan
dari proses pembuatan styrofoam sangat banyak. Hal itu menyebabkan EPA
mengategorikan proses pembuatan styrofoam sebagai penghasil limbah berbahaya
ke-5 terbesar di dunia. Selain itu, proses pembuatan styrofoam menimbulkan bau
yang tak sedap yang mengganggu pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke
udara (Mulyatno, 2013).
Setelah digunakan untuk
waktu yang sangat singkat (hanya untuk menaruh membungkus makanan untuk
sementara waktu atau melapisi barang elektronik sampai barang itu dibeli)
styrofoam yang sudah diproduksi dalam jumlah banyak itu dibiarkan menumpuk dan
mencemari lingkungan dan merusak keseimbangan kehidupan biota laut.
Styrofoam berpengaruh
terhadap global warming karena senyawa Cloro Fluoro Carbon (CFC) sebagai bahan
peniup pada pembuatan styrofoam merupakan gas yang tidak beracun dan mudah
terbakar serta sangat stabil. Begitu stabilnya, gas ini baru bisa terurai
sekitar 65-130 tahun. Gas CFC digunakan sebagai gas pengembang karena tidak
bereaksi, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berbahaya. Gas ini akan
melayang di udara mencapai lapisan ozon diatmosfer dan akan terjadi reaksi
serta akan menjebol lapisan pelindung bumi serta menimbulkan efek rumah kaca.
CFC adalah salah satu
Gas Rumah Kaca, yang bila berada diatmosfer menyerap sinar inframerah yang
dipantulkan oleh bumi. Peningkatan kadar gas rumah kaca akan meningkatkan efek
rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Pengaruh
masing-masing gas rumah kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca bergantung
pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan
kemampuan penyerapan energi. Makin panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin
efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. Kemampuan gas-gas rumah kaca
dalam penyerapan panas (sinar inframerah) seiring dengan lamanya waktu tinggal
di atmosfer dikenal sebagai GWP, Greenhouse Warming Potential. GWP adalah suatu
nilai relative dimana karbon dioksida diberi nilai 1 sebagai standar (Fadli,
2012).
Zat-zat
chlorofluorocarbon, mempunyai nilai GWP lebih tinggi dari 10.000. Itu berarti
bahwa satu molekul zat chlorofluorocarbon mempunyai efek rumah kaca lebih
tinggi dari 10.000 molekul karbon dioksida. Dengan kata lain, makin tinggi
nilai GWP suatu zat tertentu, makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan
suhu. Kalau tidak ada lapisan ozon, radiasi cahaya ultraviolet mencapai permukaan
bumi dan menyebabkan kematianorganisme, tumbuhan menjadi kerdil, ganggang di
lautan mati,terjadi mutasi genetic, menyebabkan kanker kulit atau kankerretina
mata. Menurut pengamatan melalui pesawat luar angkasa,lubang ozon di atas Kutub
Selatan semakin lebar. Saat ini, lubangozon sudah meluas sampai tiga kali benua
Eropa. Jika lubangozon melebar, sinar ultraviolet yang memasuki bumi
semakintinggi intensitasnya. Ekosistem laut dan pertanian terganggu dan insiden
penyakit kanker kulit meningkat. Karena itu penggunaan gas CFC harus dibatasi
atau bahkan dihentikan (Fadli, 2012).
Solusi
bagi Penggunaan Styrofoam
Seperti yang telah
diuraikan di atas, styrofoam ini berdampak buruk terhadap kesehatan dan
lingkungan, maka perlu dicari solusi agar penggunaannya dapat diminimalisir
atau dihentikan sama sekali.
Beberapa tahun lalu,
penyedia makanan siap saji dari Amerika mengumumkan akan mengganti wadah
styrofoam dengan kertas. Para ahli lingkungan menyebutkan keputusan itu sebagai
”kemenangan lingkungan” karena styrofoam sangat berbahaya bagi kesehatan dan
lingkungan. Keputusan ini menyusul hal serupa oleh perusahaan-perusahaan
makanan siap saji lainnya. (Mulyatno, 2013)
Beberapa cara yang
telah diusahakan untuk mengurangi dampak buruk dari Styrofoam antara lain:
1. Fokus Pengemas baru
yang ramah lingkungan
2. Menghentikan
penggunaan Styrofoam
3. Menciptakan Kemasan
Plastic Biodegradable
4. Memanfaatkan Limbah Styrofoam
sebagai Bahan Bangunan
5. Upaya mendegradasi
styrofoam
DAFTAR
PUSTAKA
Mulyanto, 2013. Bahaya Styrofoam Bagi Kesehatan.
[Online]. Tersedia:
http://www.itd.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article.
Pahri. (2012). Penggunaan Styrofoam. [Online].
Tersedia: pajrimandalabloger.blogspot.com. (23 Mei 2015)
Sulchan, dkk. (2007). Keamanan Pangan Kemasan
Plastik dan Styrofoam. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
Zamroni, A. (2002). Studi Pengaruh Radiasi Sinar
Matahri terhadap Plastik Polisterina. [Online]. Tersedia:
library.um.ac.id/free-contents/ (18 Oktober 2013)
No comments:
Post a Comment